VIVAnews - Hari masih pagi saat bus Gajah Mungkur dari Jakarta tiba di Terminal Ngadirojo,
Wonogiri, Jawa Tengah. Wajah-wajah lelah dan layu segera bermunculan--
menggambarkan lelah setelah menempuh perjalanan 630 kilometer selama 15
jam. Termasuk pada raut wajah wanita setengah baya yang muncul dari
balik pintu kemudi: Suyanti.
Suyanti memang sopir bus itu. Subuh itu tugasnya selesai. Perempuan
yang akrab disapa Yanti itu pun bergegas pulang. Butuh sekitar dua jam
sampai di rumahnya di Pucanganom, Giritontro, Wonogiri. Setelah
menyiapkan sarapan dan bercengkerama sejenak dengan orangtua dan tiga
anaknya, barulah dia bisa benar-benar beristirahat.
Tidurnya tak bisa berlama-lama. Wanita kelahiran 20 Agustus 1963 itu
harus segera kembali ke terminal sebelum pukul 15.00. "Saya bisa pulang
pergi Wonogiri-Jakarta tiga kali seminggu," ujarnya saat dijumpai
VIVAnews di Plaza Bus Gajah Mungkur, Ngadirojo.
Desakan ekonomi setelah berpisah dengan suami pertama telah memaksa
dia menghabiskan 22 tahun hidup di jalanan. Setelah suami keduanya
meninggal, perempuan ini harus menjadi ibu sekaligus kepala keluarga.
Dia adalah satu-satunya pengemudi wanita dari puluhan sopir bus malam
di tempatnya bekerja. "Awalnya hanya pelarian hati saya yang gundah,”
ujarnya.
Suyanti tak pernah bermimpi bakal jadi sopir bus malam.
Gagal membina hubungan rumah tangga di Jakarta, dia sebenarnya ingin
membuka usaha sendiri di kampung halaman. Namun, apa daya modal tak
punya.
Tanpa pendidikan tinggi dan modal usaha, dia dijepit kewajiban
menopang hidup keluarga. Maka, melihat puluhan bus malam berseliweran di
Wonogiri, langsung saja terlintas di benaknya untuk nekat melamar
menjadi sopir.
Pada 1990, dia bergabung dengan PO Timbul Jaya. Semula, tak sedikit
yang meremehkan kemampuannya. “Dulu pimpinan bilang, apakah saya bisa
menyetir bus besar. Saya jawab kekhawatiran mereka. Saya dinyatakan
lolos dan akhirnya dipasrahi satu armada bus," ujarnya, bangga.
Di PO Timbul Jaya, dia bahkan mendapat kepercayaan mengemudikan bus
untuk trayek antarpulau. Dari Wonogiri, dia mengantar penumpang hingga
Pekanbaru, Dumai, Bengkulu, Rengat, dan Jambi. “Dulu tantangannya jauh
lebih berat. Saya bisa lima hari sampai seminggu di jalan," ujarnya.
Baru 12 tahun belakangan, sejak pindah ke PO Gajah Mungkur, Suyanti
memegang trayek Wonogiri – Jakarta (pp). Dia bertugas mengemudikan bus
dua kali, dari Wonogiri ke Batang dan dari Cirebon ke Jakarta. Dari
Batang ke Cirebon adalah jatah sopir cadangan.
menjadi sopir teladanMenggeluti profesi di lahan yang
didominasi pria jelas penuh tantangan. Cibiran tak hanya datang dari
lingkungan kerjanya, tapi juga dari penumpang. Banyak penumpang yang
merasa was-was begitu melihat sopirnya seorang wanita.
Yanti tak ambil pusing. Dia terima cibiran itu sebagai pelecut
semangat, untuk membuktikan diri mampu bersaing dengan pria. “Jangan
salah, saya juga bisa menyaingi para sopir pria. Kecepatan bus bisa
sekitar 100 km/jam. Yang penting kan kehati-hatian,“ ucapnya, sambil
tersenyum. "Lambat laun, mereka yang sudah terbiasa ikut saya malah
bilang merasa nyaman dan bisa tidur pulas jika saya yang menyetir.“
Penyakit gawat bahkan tak sanggup mempensiunkannya dari kemudi.
Mengidap tumor rahim stadium awal, tiga tahun lalu, dia mengaku hanya
beristirahat enam bulan untuk menjalani kemoterapi, sebelum kemudian
melaju kembali di jalanan.
“Bagi saya, menjadi sopir bus itu sama saja membawa banyak nyawa.
Keselamatan mereka juga menjadi bagian tanggung jawab saya,“ katanya.
Kecelakaan juga tak membuatnya jerih. Suatu waktu, di Semarang,
sebuah mobil menabrak bus yang dikemudikannya. Untung, tak sampai ada
korban jiwa. “Ternyata mobil bagian depan gepeng, ringsek. Saya tidak
trauma, tapi teringat terus. Yang saya sayangkan, yang menabrak tersebut
mabuk,” dia mengenang.
Sadar profesinya berisiko tinggi, dia tak pernah memaksakan kondisi.
Jika mengantuk, dia segera meminta sopir cadangan memegang kendali. Dia
mengharamkan doping. “Yang penting, kalau berangkat perut kenyang dan
untuk mengusir jenuh, saya bawa camilan marning.”
Keteguhannya berbuah. Pada 2010, dia mendapat penghargaan sebagai sopir teladan dari perusahaannya.
FemininHanya memiliki waktu di rumah sekitar
enam jam setiap dua hari, tak membuat Yanti kehilangan perannya sebagai
ibu rumah tangga. Dia selalu menyempatkan diri menyiapkan makanan untuk
ibu dan anak-anaknya, termasuk mencari kayu bakar untuk memasak.
Suyanti juga tak kehilangan feminitasnya sebagai perempuan. Meski
menggeluti profesi yang keras, jangan bayangkan sosoknya sebagai seorang
perempuan gagah perkasa. Wanita berusia 48 tahun ini suka berdandan,
mengoles lipstik, dan senang memakai gelang dan anting-anting. Gaya
bicaranya pun tetap lemah lembut. “Kalau ada masalah, saya menahan emosi
dan berusaha sabar,” ujarnya.
Iba melihat ibu mereka membanting tulang di jalanan, tiga anaknya
yang sudah beranjak dewasa berkali-kali meminta dia pensiun. Tapi,
Yanti selalu menolak. Pensiun masih jauh dari benaknya. “Saya sudah
jatuh cinta dengan pekerjaan ini,".
demikian kisah inspiratif semoga menjadi panutan bagi kita .